Soerojo Hospital Soerojo Hospital Soerojo Hospital

KELUARGA : Fondasi Dasar Generasi Berkarakter

Oleh Admin Soerojo Hospital
Diposting di Artikel Februari 14, 2016


Beberapa waktu lalu, sosok Awkarin menjadi viral di berbagai media, dan menjadi tren kalangan anak muda. Tapi perilaku Awkarin menimbulkan pro dan kontra di kalangan pendidik dan orang tua. Apa yang salah dengan Awkarin?

Awkarin adalah sosok anak muda yang sebenarnya tidak perlu dicemaskan. Ia merasa baik-baik saja, meski belum lama ini gagal masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia lantaran lebih menyibukkan diri bersama pacarnya. Tragisnya ialah Awkarin, yang bernama asli Karin Novilda, merupakan peraih NEM tertinggi ke-3 tingkat SMP di tahun 2013 tingkat Provinsi Kepri.

Namun, seseorang bisa saja sangat berubah. Dilihat dari media sosial, gadis ini tidak menunjukkan rasa sedih ketika menghadapi kegagalan tersebut. Ia tetap bergembira bersama sahabat-sahabatnya mengikuti berbagai pesta. Ia justru lebih depresi dan menangis tersedu-sedu ketika diputuskan pacarnya. Bahkan ia mengunduh video cara berpakaian, kata-kata dan perilaku pacaran di luar normatif budaya Indonesia.
Bisa jadi itu adalah hal yang wajar bagi Awkarin, karena toh tanpa menempuh pendidikan yang tinggi pun, dan dengan konten apapun yang diunggahnya di media sosial, saat ini ia telah berhasil mendapatkan pendapatan minimal $ 1.200 (sekitar Rp. 15.600.000 per bulan), berkat traffic channel media sosialnya yang terus melonjak. Bukan angka yang sedikit untuk remaja seusianya.

Dalam hal ini, tentu menjadi fenomena yang mencemaskan karena pengikut setia Awkarin adalah anak-anak dan remaja yang sedang mencari jati diri sehingga mereka berpeluang besar mengikuti gaya hidupnya. Ada apa sebenarnya dengan generasi masa kini? Sedemikian rapuhnyakah nilai-nilai pendidikan kita sehingga sulit menjangkau percepatan pemikiran, perasaan dan perilaku anak-anak kita karena pengaruh media? Atau kurang kuatnya fondasi kehidupan berkeluarga?

Generasi swag yang berubah makna

Di luar negeri, generasi Awkarin ini dikenal sebagai fenomena anak muda kekinian yaitu generasi swag. Di Indonesia, istilah swag diberikan oleh Young Lex, rapper Indonesia yang sangat dikenal oleh para Youtuber. Jika dilihat dari Kamus Bahasa Inggris, swag memiliki arti kehancuran. Tapi beberapa tahun terakhir, swag berubah makna menjadi ‘keren’. Perubahan makna ini bisa dibilang akibat ulah Justin Bieber yang sering menyelipkan kata swag ke dalam lirik-lirik lagu yang dinyanyikannya. Definisi swag menurut Justin Bieber ialah tentang bagaimana menjadi diri sendiri. Percaya akan kekuatan diri dan berusaha membuat dirinya menjadi seseorang yang spesial. Dari situlah swag bagaikan ‘kata ajaib’ untuk para anak muda dunia. Banyak selebriti dunia yang memakai gaya swag sebagai ciri khasnya. Selain Justin, sebut saja rapper dan penyanyi ternama Amerika Serikat, Eminem, Lil Wayne. Untuk selebriti Asia, kita bisa menyebutkan G-Dragon dari Bigbang. Mereka semua dikenal sebagai swagger. Swagger ialah sosok yang jadi dominan atau spesial karena mempunyai kelebihan. Seseorang disebut swagger jika ia mempunyai rasa percaya diri yang tinggi dan fashionable. Selain itu, para swagger juga mempunyai pesona yang membuatnya punya banyak pengikut.

Mencermati fenomena Awkarin, banyak pihak khususnya pendidik dan orang tua menyoroti perilaku negatifnya, seperti dilansir dari majalah Femina edisi 26 Juli 2016 lalu yaitu :

  1. Gaya pacaran Awkarin yang dianggap relationship goals. Dilihat dari Instagram dan Youtube, Awkarin rajin menunjukkan foto gaya berpacarannya. Memang harus diakui mereka tampan dan cantik. Di kamera, mereka merupakan pasangan yang Remaja mana yang tidak mau memiliki pacar tampan dan kaya?
  2. Pornografi. Sebagai orang tua yang sudah berupaya segala rupa untuk membentengi anak dari konten pornografi di internet, (hingga memasang aplikasi seperti Parental Control ataupun Safe Search), banyak yang lupa bahwa ada peer influencer di dalam media sosial. Jika kita lihat video yang diunggah, ia dengan mudah mengumbar kemesraan. Adegan ciuman, pelukan mesra, busana seksi, dan juga sumpah serapah pun tak sungkan diperdengarkan. Semua bisa dinikmati tanpa sensor. Yang lebih memprihatinkan, kebanyakan akun yang berkomentar memiliki profil berwajah imut, dan menyapa dengan sebutan ‘Kak’. Tebak saja, usianya pasti di bawah si gadis viral ini.
  3. Kaya dan cepat terkenal dengan cara instan jadi tujuan utama. Kita pasti ingat dengan pepatah ‘sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit’. Pepatah ini mengajarkan bahwa untuk sukses butuh proses yang panjang dan proses itulah yang menghebatkan kita. Tapi sepertinya hal tersebut mulai tidak diikuti oleh anak muda zaman sekarang. Profesi vlogger dianggap menarik bagi remaja sekarang karena dengan cara instan mereka mendapatkan ‘kesuksesan’ tanpa belajar dan berusaha keras, cukup mengandalkan banyaknya follower, uang mudah mengalir.
  4. Over sharing di media sosial bagai bumerang. Aktifitas sejak bangun tidur, sampai tidur lagi diumbar oleh Karin. Hidupnya bagai reality show yang dapat ditonton setiap saat, baik lewat Snapchat, Instagram, maupun vlognya. Kita harus sadar, apa yang ada di online akan permanen berada di situ, selamanya tak akan hilang. Belum lagi, jika dihujat oleh publik atas unggahan tersebut. Sebab, bukan hanya cyber bullying yang siap menerkamnya, namun juga masa depan yang dipertaruhkan.
  5. Krisis idola di kalangan remaja. Banyak dari kita orang tua terheran-heran, kok Awkarin bisa jadi idola? Vlognya yang penuh sensasi justru lebih banyak diminati, dibanding remaja belia yang berprestasi. Apakah ini menjadi satu peristiwa bahwa generasi muda kita semakin terpuruk, kehilangan jati diri dan karakternya sebagai remaja.
Belajar dari Budaya Didik Orang Jepang

Banyaknya sisi negatif fenomena Awkarin dapat kita anggap sebagai egosistem media sosial dan perilaku anak muda yang memiliki rasa keakuan dan kegalauan yang sulit dipahami, dan membutuhkan solusi yang tidak sederhana.

Bagaimana kita dapat membangun mental dan karakter anak sebagai anak tangguh yang tidak mudah terjebak arus, mencintai kelebihan-kelebihan dari potensi dirinya dan memiliki jati diri utuh tentang diri sendiri, dimana dia tinggal, keluarganya, sopan santun dalam berinteraksi sosial dan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap interaksi sosialnya. Mau tidak mau kita harus flashback ke masa dimana anak tumbuh dan berkembang. Salah satu tempat pengenalan pendidikan karakter utama dan pertama adalah dalam keluarga.

Apa yang dapat keluarga lakukan untuk membentengi dan memperkuat karakter anak-anak mereka? Tidak ada salahnya kita belajar dari bangsa Jepang, yang menanamkan karakter baik sejak dini, baik di rumah dan di sekolah, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi cara kerja, prestasi belajar dan kerja mereka hingga dewasa. Karakter baik ini memiliki dampak dalam lingkup luas, tidak hanya di keluarga saja namun dalam pergaulan di sekolah, lingkungan kerja hingga menjadi jati diri bangsa itu sendiri.

Mendidik anak yang berkarakter dari lingkungan keluarga membutuhkan komitmen, kepekaan dan rasa kasih yang besar sehingga nilai-nilai yang kita tanam pada anak menjadi pegangan seumur hidupnya. Prinsip-prinsip pilar hidup utama nilai budaya Jepang yang dapat kita ambil dalam upaya mendidik anak yaitu :

  1. Wa (harmoni); mengandung makna mengedepankan semangat kebersamaan, menjaga hubungan baik, dan menghindari ego individu.
  2. Kao (reputasi); Kao berarti wajah. Wajah merupakan cermin harga diri, reputasi, dan status sosial. Masyarakat Jepang pada umumnya menghindari konfrontasi dan kritik terbuka secara langsung. Membuat orang lain ‘kehilangan muka’ merupakan tindakan tabu dan dapat menyebabkan keretakan dalam hubungan sosial maupun bisnis.
  3. Omoiyari (loyalitas); berarti sikap empati dan loyalitas. Spirit omoiyari menekankan pentingnya membangun hubungan yang kuat berdasarkan kepercayaan dan kepentingan bersama dalam jangka panjang.
  4. Gi; berarti menjaga kejujuran (integritas). Senantiasa mempertahankan etika, moralitas, dan kebenaran. Integritas merupakan nilai yang paling utama. Kata integritas mengandung arti jujur dan utuh. Keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dari seluruh aspek kehidupan, terutama antara pikiran, perkataan, dan perbuatan. Nilai ini sangat dijunjung tinggi dan merupakan dasar bagi insan manusia untuk lebih mengerti tentang moral dan etika.
  5. Yū; berarti berani menghadapi kesulitan. Keberanian merupakan sebuah karakter dan sikap untuk bertahan demi prinsip kebenaran yang dipercayai meski mendapat berbagai tekanan dan kesulitan. Namun demikian, keberanian mereka tidak membabibuta, melainkan dilandasi latihan yang keras dan penuh disiplin.
  6. Jin; berarti memiliki sifat kasih sayang. Kasih sayang dan kepedulian tidak hanya ditujukan pada orang tua, atasan dan pimpinan namun pada kemanusiaan. Sikap ini harus tetap ditunjukan baik di siang hari yang terang benderang, maupun di kegelapan malam. Kemurahan hati juga ditunjukkan dalam hal memaafkan.
  7. Rei; berarti hormat kepada orang lain. Sikap santun dan hormat tidak saja ditujukan pada pimpinan dan orang tua, namun kepada tamu atau siapapun yang ditemui. Sikap santun meliputi cara duduk, berbicara, bahkan dalam memperlakukan benda ataupun senjata.
  8. Makoto atau Shin; berarti jujur, bersikap tulus dan ikhlas. Senantiasa bersikap jujur dan tulus mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Para ksatria harus menjaga ucapannya dan selalu waspada tidak menggunjing, bahkan saat melihat atau mendengar hal-hal buruk tentang kolega.
  9. Meiyo; berarti menjaga kehormatan diri. Menjaga kehormatan adalah tidak menyia-nyiakan waktu, menggunakan jalan pintas, dan menghindari perilaku yang tidak berguna.
  10. Tei; berarti menghormati orang tua dan rendah hati. Mereka sangat menghormati dan peduli pada orang yang lebih tua baik orang tua sendiri, pimpinan, maupun para leluhurnya. Mereka harus memahami silsilah keluarga juga asal-usulnya. Mereka fokus melayani dan tidak memikirkan jiwa dan raganya pribadi.

Kesepuluh prinsip-prinsip dasar budaya diatas jika ingin diterapkan dalam proses mendidik anak, harus dimulai dari kita sebagai orang tua. Orang tua harus memiliki kerelaan untuk merubah diri agar anak-anak dapat mencontoh tanpa perlu kita bersusah payah dan merasa berat untuk menjalankan tugas dan peran kita sebagai pendidik karakter utama dalam keluarga. Bergeraklah dari perilaku-perilaku kecil yang sederhana, semisal dari disiplin waktu, kebersihan dan kerapihan, kemandirian, dan seterusnya yang tujukan untuk membangun karakter yang lebih besar adalah hal yang harus kita terapkan sejak dini anak sedari kecil. Bangun komitmen kuat untuk menanamkan karakter kualitas prima pada anak-anak sehingga bekal mereka untuk menghadapi gempuran nilai-nilai negatif diluar keluarga tetap tangguh seperti baja dan tetap berpegang pada jati diri dan nilai baik sebagai manusia seutuhnya.***

 

Oleh :  Ni Made Ratna Paramita, M.Psi   -  Psikolog Klinis RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang

Bagikan Postingan ini