Anak
adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita
jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia
yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28b ayat 2
menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak.
Atas
dasar pertimbangan untuk melindungi anak dalam segala aspek maka dibentuk
peraturan yang mengatur mengenai perlindungan anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002.
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU
tentang Perlindungan Anak) anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Berdasarkan UU tentang
Perlindungan Anak maka semua pihak baik pemerintah, orang tua, keluarga maupun
masyarakat wajib memberikan perlindungan kepada anak dari segala tindakan yang
akan merugikan anak.
Meskipun
sudah ada peraturan yang memberikan jaminan untuk melindungi anak, namun fakta
membuktikan bahwa peraturan tersebut belum dapat melindungi anak dari tindakan
kekerasan. Hal ini dapat kita lihat bahwa kekerasan yang terjadi terhadap anak
tiap tahun mengalami peningkatan. Akhir-akhir ini banyak pemberitaan tentang
aksi kekerasan terjadi pada anak. Kekerasan terhadap anak-anak adalah perilaku
yang bersifat tindak penganiayaan yang dilakukan orang tua atau dewasa terhadap
anak-anak (usia 0 - 18 tahun, atau sepanjang mereka masih berstatus anak secara
hukum).
Proses
tumbuh kembang anak misalnya bertambah besar, pintar, dan lain-lain di tengah
keluarga, sangat berkaitan dengan berbagai faktor yang saling melengkapi satu
sama lain. Sehingga anak mampu berinteraksi dengan hal-hal di luar dirinya
misal orang tua, adik-kakak, teman sebaya, tetangga, sekolah, masyarakat.
Interaksi itu ditambah dengan bimbingan serta perhatian utuh dari orang tua
menghasilkan berbagai perubahan, pertumbuhan, perkembangan pada anak,
menyangkut fisik, psikhis, sosial, rohani, dan intelektual, pola pikir, cara
pandang, dan lain sebagainya.
Seiring
dengan perubahan dan tumbuh kembang, seringkali terjadi benturan ketika
anak berhadapan dengan orang dewasa. Dan tidak menutup kemungkinan, bahwa
dampak dari benturan itu adalah perlakuan kekerasan fisik, kata,
psikhis yang dibungkus dengan kata-kata “semuanya adalah
nasehat dan didikan” kepada anak. Hal itu terjadi karena orang dewasa
menganggap anak telah melawannya, bandel, tidak mau mendengarkan, keras kepala,
serta telah melakukan banyak tindakan perlawanan terhadap orang yang lebih
tua. Tindakan-tindakan dalam rangka upaya pendisiplinan, menuntut ketaatan
tersebutlah yang menjadikan orang tua memperlakukan anak-anak secara fisik dan
psikologis, sehingga berakibat penderitaan, tidak berdaya, bahkan kematian.
Bentuk
Kekerasan Pada Anak
Bentuk-bentuk
kekerasan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 mengenai
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), dimana lingkup rumah tangga
dalam Undang-Undang ini meliputi suami, isteri dan anak, yaitu;
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a
adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat;
Kekerasan
psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang;
Kekerasan
seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : Pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetapkan dalam lingkup
hidup rumah tangga tersebut; Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang
dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu,
Setiap
orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, penelantaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang
untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di
bawah kendali orang tersebut.
Menurut
Sitohang (2004), bentuk-bentuk kekerasan pada anak meliputi;
Non
Accidental “injury” mulai dari ringan “bruiser laserasi” sampai pada trauma neurologic
yang berat dan kematian. Cedera fisik akibat hukuman badan di luar batas,
kekejaman atau pemberian racun;
yaitu
kegiatan atau behavior yang langsung dapat menyebabkan efek merusak pada
kondisi fisik anak dan perkembangan psikologisnya;
yaitu
ditandai dengan kecaman/kata-kata yang merendahkan anak, tidak mengakui sebagai
anak. Penganiayaan seperti ini umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain;
Paksaan
pada seseorang anak untuk mengajak berperilaku/mengadakan kegiatan seksual yang
nyata, sehingga menggambarkan kegiatan seperti : aktivitas seksual (oral
genital, genital, anal atau sodomi) termasuk incest.
Efek
Kekerasan Pada Anak
Beberapa
efek dari terjadinya tindak kekerasan yang dialami anak adalah :
Kekerasan
yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera
serius terhadap anak, dan meninggalkan bekas baik fisik maupun psikis, anak
menjadi menarik diri, merasa tidak aman, sukar mengembangkan trust kepada orang
lain, perilaku merusak, dll. Dan apabila kejadian berulang ini terjadi maka
proses recoverynya membutuhkan waktu yang lebih lama pula.
Kekerasan
psikis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas
yang nyata seperti kekerasan fisik. Dengan begitu, usaha untuk menghentikannya
juga tidak mudah. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi
yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya
diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak seperti tiba-tiba
membakar barang atau bertindak kejam terhadap binatang, beberapa melakukan
agresi, menarik diri, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan
bunuh diri.
Banyak
sekali pengaruh buruk yang ditimbulkan dari kekerasan seksual. Pada anak yang
masih kecil dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa
takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom
fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit. Pada remaja, mungkin
secara tidak diduga menyulut api, mencuri, melarikan diri dari rumah, mandi
terus menerus, menarik diri dan menjadi pasif, menjadi agresif dengan teman
kelompoknya, prestasi belajar menurun, terlibat kejahatan, penyalahgunaan obat
atau alkohol.
Pengaruh
yang paling terlihat adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua
terhadap anak. Bayi yang dipisahkan dari orang tuanya dan tidak memperoleh
pengganti pengasuh yang memadai, akan mengembangkan perasaan tidak aman, gagal
mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah
penyesuaian diri pada masa yang akan dating.
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang
telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU
35/2014”) yang menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang
tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
Untuk
itu, mari menjadi lebih peduli dengan lingkungan di sekitar kita. Segera
laporkan bila terjadi tindak kekerasan pada anak; meski hal tersebut dilakukan
oleh orangtuanya.
(*disarikan dari berbagai sumber)
Ketentuan Umum Pendaftaran Online